Jumat, 28 Oktober 2016

filsafat ilmu pendidikan

1.       a. Hakikat filsafat
Filsafat (terjemahan dari bhs Inggris philolophy) berasal dari bahasa Yunani, yaitu philo, philia, philein (love of ) dan Sophia atau sophos (wisdom). Oleh karena itu secara etimologis filsafat artinya cinta atau mencintai akan kebajikan atau kebijaksanaan (love of wisdom). Dengan demikian filsafat memiliki makna, yaitu hasrat yang menggebu atau keinginan yang sungguh-sungguh/kemauan keras akan kebenaran sejati. Adapun objek dari hakikat filsafat itu sendriri, yaitu objek material dan formal adapun mengenai sistematika dalam filsafat yang saat ini sangat berkembang pesat dengan adanya aliran-aliran filsafat maupun cabang-cabang filsafat itu sendiri.
b. mengapa harus berfilsafat?
Karena pada suatu saat, secara tidak sadar kita sudah bergelut dengan suatu permasalahan filsafat, yang dengan sendirinya jadi bahan pemikiran kita. Meskipun kita tidak memiliki minat untuk belajar filsafat, ada masalah-masalah filsafat yang mau tak mau menarik perhatian kita. Masalah persisnya tentu berbeda dari orang ke orang. Kita mungkin akan terserap dalam suatu pembahasan filsafat walaupun persoalan yang dibahas kelihatannya sama sekali tidak filosofis. setiap orang pasti menyimpan suatu keyakinan-keyakinan filsafat. Salah satu alasan mengapa seorang berfilsafat adalah karena memang dalam diri filsafat itu sendiri mengandung suatu tugas. Kita sudah mengetahui bahwa filsafat didasari oleh suatu kebebasan berpikir, namun suatu kebebasan berpikir yang ditandai oleh hasrat keakraban dengan kebenaran yang dikandung oleh penampilan realita saja.
2.      a. hakikat pendidikan

Hakikat pendidikan diartikan sebagai kupasan secara konseptual terhadap kenyataan-kenyataan kehidupan manusia baik disadari maupun tidak disadari manusia telah melaksanakan pendidikan mulai dari keberadaan manusia pada zaman primitif  sampai zaman modern (masa kini), bahkan selama masih ada kehidupan manusia di dunia, pendidikan akan tetap berlangsung. Kesadaran akan konsep tersebut diatas menunjukkan bahwa pendidikan sebagai gejala kebudayaan. Artinya sebagai pertanda  bahwa manusia sebagai makluk budaya yang salah satu tugas kebudayaan itu tampak pada proses pendidikan

b. Mengapa harus berpendidikan?

Karena pendidikan adalah sebuah hal penting dalam sebuah kehidupan nyata, pendidikan akan berpengaruh dalam menentukan sikap dan prilaku seseorang serta tingkah laku yang dimiliki. Dengan adanya pendidikan sesorang akan mempunyai nilai dimata masyarakat karena jika seseorang tidak pernah merasakan sebuahpendidikan maka hal tersebut akan membuat nilai yang buruk dalam diri seseorang tersebut. Dengan seseorang memiliki sikap yang baik maka orang tersebut akan di pandang oleh masyarakat sekitar bahwa orang tersebut adalah orang yang berpendidikan.
3.       Objek formal :  bidang yang menjadi keseluruhan ruang lingkup garapan riset pendidikan.
contoh:  Mendidik, membimbing, dan melatih siswa menuju perbaikan dan berkaitan dengan persoalan pendidikan.
Objek material : bahan atau masalah yang menjadi sasaran pembicaraan, penelitian atau penelaahan dari ilmu pengetahuan.
Contoh: instrument penelitian
4.       Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan umum dari berbagai kasus yang bersifat individual, selain itu metode induksi ialah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu dengn jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum atau bersifat lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus.
Deduktif  merupakan  cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum.
5.       Menurut saya, problematika dalam filsafat ilmu pendidikan yaitu tingkat pemahamannya yang cukup sulit dari teori-teori yang dikemukakan oleh para ilmuan sehingga tingkat pemahaman mahasiswa membutuhkan proses yang lama untuk dimengerti, selain dari tingkat pribahasanya yang tinggi serta sulit dimengerti maupun tingkat pemahamannya yang sulit dalam artian lama prosesnya. Hal ini tentu saja bisa di atasi dengan kecakapan seorang pengajar yang  kreatif dalam artian mempermudah bahasa atau kata-kata yang di mengerti oleh mahasiswa itu sendiri. Selain itu hindari pengajaran yang monoton dan membuat semenarik mungkin agar mudah di pahami dalam materi filsafatilmu pendidikan ini.

Selasa, 11 Oktober 2016

TEORI POLITIK

Four value systems seem important here for the member of the activist organization:
1.     The legal system : how far, for instance, does the activist value the legal system? Presumably he?she recognizes that in illegal act challenges the structure of society.
2.     Political values : are political values of such importance that they can lead the activist to reject his?her legal obligation to obey the law?
3.     Moral values: what disvalue does the activist place on blowing up other peoples property?
4.     Prudential values: the threat of arrest nd punishment
In the case of the judge we are able to catch a glimpse of the communal form of life. There value system seem important:
1.     The value of the integrity of the legal system: that for the continued existence of the legal system, laws should be applied, obeyed and enforced
2.     The value of communal moral value system: according to lord devlin, a judge must uphold public morality
3.     The communitys political value system and expecially the value of compromise: J.A.C Griffith points out that in practice judges are not isolated from reality, as legal theory tells us they should be, but do take note of the political and social climate
If the legal system is applied and legal justice enacted, the judge has then carried out the obligation to apply the law in accordance with the rules lain down. The obligation to morality has also been satisfied because the person who broke the moral code has been caught and punished. At this point, however, morality is of further importance. How immoral is the act of blowing up others peoples property: how immoral is it to shock members of the community who follow conventional morality? The conclusion may have some bearing on the sentence. Political value also enter at this point, in particular the value of prudence. Is the act isolated or is it part of larger polt: if the activist receives a long sentence, will the person be made a martyr and the refore further his/her cause: will a long sentence lead to further acts of violence as a way of protest or will it be a deterrent? A careful weinghing up of these questions changes a possible sentence of there years to one of six months imprisonment. Legality and morality have been upheld but prudential considerations have qualified the sentence.
What has happened in this case is that, within a communal form of life as in an individual one, there is a hierarchy of values system: some value systems in certain instances are considered more important than others. Occasionally only one value system may come into play. For instance, in judging in picture for its beauty, our aesthentic value system may be the only one that is used. Sometimes, however, more than value system is relevant, and to know a persons form of life will indicate which system will take precendence. Indeed, if we really knew a persons form of life, we would know not only which value system but also which value within a system would  take precedence in a conflict.
We are now in a position to see in greater detail when a political system will be valued. It will be valued if it allows us to follow our form of life or it furthers our form of life. It may be that certain governmental actoins offend our moral values bat we may accept them because they agree with our prudential value system. On the other hand, they may agree with neither but we still maintain our obligation if governmental action generally agree with our form of life. Theoretically it seems that there things can disturb this maintenance:
1.     Actions or pursued which threaten our form of life
2.     Actions are pursued which are opposed to important values within an important value system in our form of life
3.     Alternative political systems seem more attrachtive, perhaps because
a.     The political system wthin which we live generally allows the existence of our form life but another will actually further it
b.     Our political system does not favour our form of life but another allows the existence of it
c.      Our political system does not favour our form of life but another will further it
When one has a political obligation to a system, one need not be concerned with every detail of legislation or with political action.


However, if legislation or political action continiutally goes against the contens of ones form of life then ones political obligation begins to waver. In other words, if governmental action indicates that the set up no longer allows or values the things that one values then quite obviously the value that was in herent in it, and was the grouns for  ones obligation no longer exists. However, this cannot provide a justification  for rebellion, as in this case rebellion would be based on the subjective a practical point of view.

Under this analysis of the concept of the form of life, if the government of the whole dies not favour the communal form of life, then general withdrawal of political obligation can take pleace. In such a case there could be a sufficient justification for a rebellion.
In practice, in spite of the failure of a political system To take not of the communal shared values, we might still decide that it is the best of a bad bunch. We would be ranking it favourably with the other available, event though we greded it against the ideal as of little value. In this case we could have a duty towards it, in conflict with other systems. It could also be the cas that, although we think that the system is fairly bad, we nevertheless recognize that there are certain change mechanisms within it that can lead to imprevements and so are prepared to give it our allegiance.
Under such an argument, political obligation becomes very personal, and perhaps to the soverign unimportant, because, although one may not have a political obligation to the system, one will still have a legal obligation to obey the laws. It cannot besuccessfully argued that one can obey or disobey a particular law depending on whetger or not one valued it. If in could then chaos would reign, and a situation similar to a Hobbesian state of nature would exists. One can deny that one has a political obligation to the system but still follow the laws of the state because of other prudential, rational and moral obligation. However, a withdrawal of political obligation will entail a hypercritical stance, as one will be suspicious of every new law or action of the government. It will also be important in extreme cases because, as we have seen, the continual irrational acts of a pathological government against the shares values of the community can lead to a general withdrawal of political obligation: the vast majority of individualis will no longer have a political obligation to the system. This leaves the legal framework on its own, completely naked, so that it will be clearly seen that the irrational laws of a pathological regime are unprincipled, that they are not derived from the principles of justice inherent in the legal tradition, and that they do not reflect the shared values of the community. This can lead to the claim that the irrational laws are illegal, event though they seem to have be passed by the legitimate procedure. This in its turn leads to the argument that the legal framework itself has become illegitimate and that this recinds our legal obligation to obey the laws : a situation of rebellion will therefore exists. A general withdrawal the viel of legitimacy from the legal system and be instrumental in instigating rebellion.

 

Senin, 13 Juni 2016

Teori dan Hukum Konstitusi



1.      Kewenangan Mahkamah Konstitusi, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk yaitu untuk Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Memutus pembubaran partai politik, dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Adapun suatu kewajiban MK Memberikan suatu putusan atas adanya Pemakzulan presiden dan wakil presiden dengan adanya suatu pelanggaran yang sudah di tetapkan. Dalam hal ini MK berkewenangan untuk memutus suatu perkara atau memutus suatu lembaga negara.
2.      a. Kewenangan Kekuasaan Kehakiman MA, Dalam Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Mahkamah Agung”berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Mahkamah Agung diamanati dua kewenangan, yaitu,
1) Kewenangan mengadili pada tingkat kasasi, yaitu pengadilan tingkat akhir yang disediakan warganegara yang melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan pertama dan pengadilan banding di semua lingkungan peradilan.
2) Kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangterhadap undang-undang, merupakan upaya pengujian legalitas. Objek yang diuji hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dengan menggunakan undang-undang sebagai alat ujinya.
b. Kewenangan Kekuasaan Kehakiman Komisi Yudisial, Secara fungsional peranan Komisi Yudisial bersifat penunjang terhadap lembaga pelaku kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta badan-badan peradilan di bawahnya. Meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial bukan lembaga penegak norma hukum, melainkan lembaga penegak norma etik. Komisi ini hanya berurusan dengan soal soal kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.
3.      a. Sejarah terjadinya/terlahirnya Piagam/konstitusi madinah, Paigam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW dan umat Islam selama kurang lebih 13 tahun di Mekah terhitung sejak pengangkatan Muhammad SAW sebagai Rosul, sebelum mempunyai kekuatan dan kekuasaan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat Islam menjadi komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah, kota yang sebelumnya disebut Yarsib. Tak lama sesudah hijrah ke Madinah, Muhammad SAW membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang dihuni beberapa macam golongan yakni golongan muslim pendantang, golongan muslim Madinah dan golongan Yahudi. Piagam ini dibuat atas persejuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah yang secara formal ditulis dalam suatu naskah yang disebut Shahifah.
Para ahli menyebut Piagam ini dengan istilah yang bermacam-macam. Montgomery Watt menyebutnya The Constitusion Of Medina; Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan Piagam sebagai terjemahan dari kata al-shahifah. Sebagai dukumen resmi yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan menyebabkan Piagam itu tepat juga disebut sebagai Konstitusi Madinah.
Piagam Madinah yang dideklarasikan Nabi SAW ini ada 4 bagian.
Bagian pertama ada 28 pasal. Isinya lebih banyak berkaitan dengan orang Muhajirin & Anshar. Dalam bagian pertama ini,ada penjelasan bahwa semua masalah yang tidak terselesaikan musyawarah,diserahkan kepada Nabi SAW Beliau sebagai kepala negara.
Bagian kedua, mengatur hubungan antara umat Islam dan golongan Yahudi dengan detil. Tujuannya untuk menjaga stabilitas masyarakat Madinah yang bersatu.
Bagian ketiga, sebagian besar isi Piagam Madinah bagian ini adalah pengulangan penjelasan dari pasal yang ada di bagi 1 dan 2, dengan rumusan yang sedikit beda. Isinya, Madinah adalah Kota Suci, haram perang & tumpah darah. Ada pula tentang kewajiban menjaga keamanan kota dari serangan musuh.
Bagiam keempat, ada 7 pasal. Disebutkan kabilah yang baru masuk Islam diberlakukan hukum yang berlaku terhadap kabilah lain yang lebih dulu. Bagian ini ditulis setelah Perang Khandaq ketika banyak kabilah kecil Madinah masuk Islam, terutama yang brasal dari orang Arab, dari suku Aus.
b. Materi muatan Konstitusi Madinah
-seluruh kaum Muslimin dari berbagi golongan adalah satu umat yang bersatu
-saling tolong menolong dan saling melindungi di antara rakyat yang baru itu atas sadar keagamaan
-masyarakat dan negara berkewajiban atas setiap rakyat untuk mempertahankan keamanan dan melindungi dari serangan musuh
-persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lainnya di dalam urusan dunia bersama kaum Muslim.
c. Hubungan dengan ketatanegaraan modern
piagam madinah ini terlahir dari dulu namun sampai saat ini perkembangan dan pengamalannya terus berjalan. Dengan demikian dalam tata hukum suatu negara modern tersimpul satu bagian yang secara khusus mengatur organisasi kenegaraan, bagian ini disebut konstitusi. Melalui Konstitusi Madinah ini Islam menggambarkan ketatanegaaraan modern, dimana muatan materi Konstitusi Madinah sebagaimana layaknya konstitusi modern. Untuk pertama kalinya dalam konstitusi itu disebutkan dasar-dasr masyarakat partisipatif dan egaliter. Dengan demikian Konstitusi Madinah telah mendahului konstitusi-konstitusi lainnya dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak di bidang politk yang merupakan prinsip utama dalam sistem ketatanegaraan modern.
4.      a. Sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi
Berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.  Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu juga.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
b. Sejarah pemberhentian Presiden Gusdur
Pada masa pemerintahan presiden GusDur saat menjalankan pemerintahan mengalami banyak persoalan, karena itu adalah warisan dari Pemerintahan Orde Baru. Salah satu permasalahan yang sangat menonjol adalah masalah KKN, pemulihan ekonomi, masalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs Rupiah, masalah jaringan pengaman social (JPS), penegakan hukum, penegakan HAM.
Belum tuntas mengatasi persoalan Orde Baru, pemerintahan GusDur dihadapkan pada persoalan – persoalan kebijakannya yang dinilai banyak kalangan sangat controversial. Kasus Buloggate begitu terkenal karena sering kali menjerat petinggi-petingggi negara. Kasus-kasus yang melibatkan nama Badan Urusan Logistik (Bulog) serta jajaran pimpinannya sejak lama sudah mengemuka. Kasus ini melibatkan Yanatera (Yayasan Bina Sejahtera) Bulog yang dikelola oleh mantan Wakabulog Sapuan. Sapuan akhirnya divonis 2 tahun penjara dan terbuksi bersalah menggelapkan dana non bujeter Bulog sebesar 35 milyar rupiah. Keterlibatan Presiden Gus Dur sendiri baru terungkap secara terbatas, yaitu adanya pertemuan antara Presiden dan Sapuan (Wakil Kepala Bulog) di Istana. Dalam pertemuan itu, Presiden menanyakan dana nonbudgeter Bulog dan kemungkinan pengunaannya. Sapuan mengatakan, dana nonbudgeter itu ada, tetapi penggunaannya harus melalui keppres (keputusan presiden). Keterlibatan Gus Dur baru terungkap sebatas itu. Memang dalam kasus ini terlihat kental sekali nuansa politik dari pada persoalan hukum itu sendiri.
Brunei gate adalah kasus penyaluran dana Sultan Brunei yang diserahkan kepada pengusaha yang dekat dengan Presiden Wahid, yaitu Ario Wowor. Keterlibatan Presiden Wahid dalam kasus itu, kata Bactiar tentu saja ada. Namun tidak ada keterlibatan Presiden meminta dana ke Brunei. ”Gus Dur hanya memberi pertimbangan kepada Ario Wowor tentang pendistribusian dana. saat itu memang Ario melaporkan kepada Presiden tentang dana yang diperolehnya dari Brunei. “Ketika itu Gus Dur bilang, Ya sudah, berikan saja ke Masnuh untuk dibagikan kembali ke LSM yang membutuhkan,” Selain itu kedutaan Besar Brunei di Indonesia telah menyatakan dana Rp 2 juta dolar adalah uang pribadi Sultan, dan bukan uang negara. Kejakgung saat itu sudah menyimpulkan tak ada keterlibatan Presiden GusDur. Puncak kekecewaan DPR dibuktikan dengan dikeluarkannya memorandum I untuk presiden pada tanggal 1 Februari 2001. Namun beliau tidak hadir dalam siding tersebut. Karena DPR dianggap sebagai Taman Kanak-Kanak (TK).Kemudian DPR kesal dan kembali mengeluarkan memorandum II pada tanggal 30 April 2001. Namun hal ini tidak jauh beda dengan memorandum sebelumnya. Akhirnya Presiden datang tetapi tidak untuk berniat untuk melakukan sidang tersebut (hanya sekedar datang lalu pulang). Sikap MPR justru semakin tegas saat Gusdur secara sepihak mengganti Kapolri Koirudin Ismail menggantikan Suruyo Bimantoro, karena tidak sependapat dengan Gusdur. Seharusnya Gusdur meminta pendapat DPR, oleh karena itu DPR merasa dilecehkan oleh presiden dan meminta MPR untuk bertindak tegas melaksanakan sidang istimewa. Namun presiden menolak rencana tersebut dan menyatakan sidang istimewa MPR tidak sah dan ilegal.
Dengan demikian karena presiden gusdur sudah melanggar suatu ketentuan yang sudah di tetapkan makan terjadilah suatu pemakzulan presiden dan wakil presiden. Dan pada saat itu sosok megawati yang menggantikan posisi gusdur untuk menjabat sebagai presiden republic Indonesia.
Bottom of Form
c. 1. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
3. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
4. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.
5. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
6. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut.
 7. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Sebaliknya, Pasal 7C menetapkan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.



Rabu, 01 Juni 2016

MEMBUAT ESAI : Sistem Politik Indonesia



 HAK RECALL PARTAI POLITIK

I.                   ABSTRACK
Dalam sebuah partai politik pasti akan ada nya sebuah Hak Recall Partai Politik. Hak Recall Partai Politik ini merupakan sebuah pemberhentian anggota atau penarikan kembali sebuah anggota untuk di berhentikan. Pemberhentian ini terjadi apabila suatu keanggotaan parta politik sudah melanggar ketentuan yang belaku. Adapun permasalahan yang dapat di ambil dalam permasalahan recall ini dilema recall dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ketentuan mengenai recall dalam hukum positif Indonesia diaturdalam UU MD3 Bagian Kelima Belas tentang Penggantian Antar waktu, pemberhentian antar waktu, dan Pemberhentian Sementara.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan suatu anggota partai politik ini sehingga terjadinya recall seperti melanggar sumpah atau janji yang sudah dibuat, melakukan tindak pidana, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan, tidak mengikuti rapat paripurna selama enam kali berturut-turut tanpa ada keterangan yang sah dan pelanggaran-pelanggaran yang lainnya.

II.                PENDAHULUAN
Hak recall partai politik memang sering terjadi di beberapa kelomok partai politik dan hak recall partai politik itu sendiri merupakan suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa jabatan terhadap anggota parlemen dalam suatu partainya. Hak recall partai politik juga menjadi salah satu perdebatan hangat dalam berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu hukum dan ilmu politik. Dalam embahasan mengenai persoalan permasalaan recall partai politik ini akan berdampak berkepanjangan, recall sebenarnya tidak saja dapat dilakukan oleh partai politik tetapi bisa juga oleh badan kehormatan DPR. Pengkajian Hak recall ini memang mengakibatkan sebuah dilematis yang kontroversial karena hak recall ini membahas persoalan pemberhentian jabatan seorang pemegang partai politik.  Adapun mengenai pembagian hak recall ini  bahwa hak Recall Partai politik di  bagi menjadi dua Ada yang setuju dan ada juga yang menolak. Dan mengenai yang setuju atas adanya recall ini pasti mengerti dengan adanya suatu kondisi di dalam parlemen itu sendiri dan pastinya akan tahu keberlangsungan partai politik untuk sebuah perjalanan kedepannya menjadi lebih baik lagi dengan adanya perubahan atau pemberhentian itu sendiri keberlangsungan partai politik akan berjalan kembali sebagai mana mestinya. Adapun mengenai hal yang tidak setuju atau menolaknya ada beberpa factor pemicu dalam sebuah parlemen, kemungkinan ada tekad untuk mempertahankan suatu pemimpin dari partai politik atau ada hal-hal yang lainnya.
Dalam ketentuan pasal 196 UU MD3, seharusnya tidak ada alasan bagi Parpol untuk merecall anggotanya dari jabatannya sebagai anggota DPR dengan alasan pernyataan dan pendapatnya dalam menjalankan tugas dan wewenang DPR. Hak imunitas ini mengikat setiap anggota DPR dan seharusnya Parpol menghormati hak itu, dalam mekanisme kontrol terhadap anggota DPR sudah dilakukan diinternal DPR oleh Badan Kehormatan, Alasan-alasan bagi Badan Kehormatan untuk merecall anggota DPR justru lebih rasional dan dapat diterima oleh hukum, bukan semata-mata alasan-alasan yang bertendensi dan sarat akan kepentingan-kepentingan politik yang pragmatis.
Adapun permasalahan yang dapat di ambil dalam permasalahan recall ini dilema recall dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ketentuan mengenai recall dalam hukum positif Indonesia diaturdalam UU MD3 Bagian Kelima Belas tentang Penggantian Antar waktu, pemberhentian antar waktu, dan Pemberhentian Sementara mulai dari Pasal 213 sampai dengan Pasal  218.
Adapun tujuan dari pengkajian persoalan hak recall partai politik ini untuk menambah wawasan keilmuan dalam persoalan pembelajaran, para pembaca akan mengetahui proses dari recall itu sendiri atau tahapan pemberhentiannya.
Adapun minat yang saya dapatkan dalam persoalan recall ini ketertarikan membahas procedural pemberhentian anggota partai politik yang dimana ketika melanggar ketentuan-ketentuan yang ada. Dalam fenomena ini saya tertarik karena hal tersebut berhubungan dengan suatu pemerintahan yang ada di Indonesia itu sendiri.

III.             ISI
Hak Recall Partai Politik merupakan suatu penarikan kembali atau pemberhentian anggotanya oleh sebuah partai politiknya. recall bertujuan untuk penguatan partai politik, bahwa penguatan partai politik memang konsekuensi dari perkembangan demokrasi modern.
Ada beberapa point yang dapat di jelaskan dalam persoalan recall partai politik ini melipui, Penggantian antar waktu, Pertimbangan MK secara Yuridis dan Pemberhentian antar waktu.
Dalam beberapa point di atas terdapat sebuah penjelasan dari beberapa poin di atas.
a.       Penggantian antar waktu
Penggantian antar waktu atas usulan partai politik populer diistilahkan dengan recall. Dalam kamus politik karangan Marbun, recall di artikan sebagai proses penarikan kembali atau penggantian kembali anggota DPR oleh induk organisasinya yang tentu saja partai politik.
1. Penggantian Antar waktu DPR adalah proses penggantian Anggota DPR yang berhenti antarwaktu untuk digantikan oleh calon Pengganti Antar waktu yang diambil dari Daftar Calon Tetap. Anggota DPR dari partai politik dan pada daerah pemilihan yang sama.
2.   Penggantian Antar waktu DPD adalah proses penggantian Anggota DPD yang berhenti antarwaktu untuk digantikan oleh calon pengganti antarwaktu yang diambil dari DCT Anggota DPD pada daerah pemilihan yang sama.
3.   Calon pengganti antar waktu anggota DPR dan anggota DPD adalah nama calon pengganti antar waktu yang diambil dari DCT Pemilu Anggota DPR dan DPD tahun 2009 dan berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan KPU, masih memenuhi persyaratan calon.
b.      Pertimbangan MK secara Yuridis
Pertimbangan MK di atas menunjukkan bahwa secara yurdis konstitusional tidak ada larangan bagi warga negara untuk pindah keanggotaan ke parpol lain bahkan untuk memiliki dualisme kanggotaan parpol sekalipun Walaupun MK juga menyarankan agar tunduk pada aturan internal parpol. Akan tetapi, berdasarkan pertimbangan tersebut MK ingin mengatakan secara prinsip parpol tidak boleh secara semena-mena memberhentikan anggotanya, MK semacam memberikan “warning”karena pemberhentian keanggotan seseorang dari parpol tidak serta merta memberhentikan orang tersebut dari keanggotaannya di parlemen baik DPR maupun DPRD.
c.       Pemberhentian antar waktu
Alasan alasan dari permasalahan recall itu sendiri  dalam pasal 213 ayat (2) UU No.27 Tahun 2009 tentang MD3 disebutkan mengenai alasan-alasan pemberhentian antar waktu anggota DPR, antara lain:
a. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun
b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR
c. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena      melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih
d. Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah
e. Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-  undangan
f. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD
g. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
h. Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; atau
i. Menjadi anggota partai politik lain

Terjadinya hak recall itu ada karena pemegang partai poitik atau anggota anggota DPR itu sudah melanggar aturan-aturan yang sudah di tetapkan dengan kata lain sudah berkhianat apalagi samapi menjadi anggota partai politik lain tanpa adanya pengunduran diri sebelumnya. Memang hak recall itu harus terjadi apabila suatu anggota partai politik sudah melanggar ketentuan yang sudah di sepakati sebelumnya dalam penentuan atau penetapan peraturan. Ketidak produktipan suatu anggota partai politik itu sendiri memang harus di berhentikan karena kana menghambat suatu proses berjlannyakinerja-kinjerja yang sudah di buat sebagi mestinya, artinya seorang angota partai politik atau anggota DPR pemegang partai politik sekalipun jika melakukan sebuah pelanggaran yang sangat final memang recall ini harus dilakukan agar keberlangsungan kinerja dapat berjalan dengan baik. Alasan-alasan yang menarik untuk dikritisi antara lain huruf c, e, h dan i. Keempat alasan tersebut sangat politis dan memberikan otoritas yang sangat besar kepada parpol Menurut penulis alasan huruf c yang menjadi otoritas parpol perlu ditinjau kembali, karena anggota dewan yang melakukan tindak pidana seharusnya menjadi domain Badan Kehormatan sehingga yang lebih berhak mengusulkan pemberhentian anggota dewan yang melakukan tindak pidana dengan putusan inkracht adalah Badan Kehormatan bukan pimpinan parpol.
      Dalam Recall Partai Politik ini terjadi karena adanya pemberhentian anggota Partai politik atau anggota DPR yang sudah melanggar ketentuan yang sudah dibuat dan di sepakati bersama. Adapun Ketentuan mengenai recall dalam hukum positif Indonesia diatur dalam UU MD3 Bagian Kelima Belas tentang Penggantian Antar waktu, pemberhentian antar waktu dan Pemberhentian Sementara. Mengenai pertimbangan MK secara yuridis dalam persoalan recall ini bahwa pemberhentian anggota partai politik jangan semena-mena dalam artian harus memberikan kesempatan. Persoalan anggota partai politik atau anggota DPR sendiri jika mengalamai pindah haluan ke artai politik lain itu bagian dari Hak nya sendiri. Namun jika kita tinjau kembali mengenai pelanggaran yang telah dilanggar  oleh anggota DPR atau partai politik bahwasannya anggota DPR tersebut sudah tidak layak lagi dalam suatu sisitem politik yang di pegangnya, karena aturan yang telah dibuat dan sepakati sebelumnya telah di langgar dan tidak di patuhi.

IV.             PENUTUP
Hak Recall Partai Politik merupakan suatu penarikan kembali atau pemberhentian dalam masa jabatan terhadap anggota parlemen atau DPR dalam partai politiknya. Hak Recall terjadi bila suatu anggota atau suatu kelompok sudah melakukan pelanggaran yang sudah di tetapkan dalam peraturan yang telah di buat. Hak recall Partai Politik Akan ada jika kesalahan yang di lakukan sudah jelas dan sudah final untuk melanjutkan sebagai anggota dari partai politik tersebut dan Mengenai pertimbangan MK secara yuridis dalam persoalan recall ini bahwa pemberhentian anggota partai politik jangan semena-mena dalam artian harus memberikan kesempatan. Persoalan anggota partai politik atau anggota DPR sendiri jika mengalamai pindah haluan ke artai politik lain itu bagian dari Hak nya sendiri. Namun jika kita tinjau kembali mengenai pelanggaran yang telah dilanggar  oleh anggota DPR atau partai politik bahwasannya anggota DPR tersebut sudah tidak layak lagi dalam suatu sisitem politik yang di pegangnya, karena aturan yang telah dibuat dan sepakati sebelumnya telah di langgar dan tidak di patuhi maka recall pun harus terjadi dan adanya pergantian keanggotaan dalam sebuah system Partai Politik teesebut.

V.                DAFTAR PUSTAKA